Dome 1


PASUKAN DIVISI SILIWANG HIJRAH KE YOGYAKARTA


Setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948, Republik Indonesia harus mengakui daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Republik Indonesia. Berdasarkan perjanjian tersebut, wilayah Jawa Barat masuk dalam daerah yang dikuasai Belanda sehingga Pasukan Divisi Siliwangi yang berkedudukan di Jawa Barat harus pindah ke wilayah Republik Indonesia. Mereka memilih pindah ke Ibukota Yogyakarta. Pada tanggal 11 Februari 1948, Pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin Mayor Mokoginto tiba di stasiun Tugu Yogyakarta dan diterima oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Dome 2


obat-obatan dari Pemerintah Mesir Melalui Pesawat Udara tiba di Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta.


Berkat perjuangan diplomasi, makin banyak negara di Asia, seperti India, Birma, Srilanka, Afganistan serta negara-negara Arab seperti Mesir, Arab Saudi, Irak, Siria, Afganistan, dan Libanon yang menaruh simpati dan mengakui Negara Republik Indonesia. Kunjungan pemerintah Mesir, Abdul Mounem, tanggal 14 Maret 1947 ke Yogyakarta merupakan kunjungan yang penting bagi bangsa Indonesia. Kunjungan itu menyampaikan pengakuan negara-negara yang bergabung dalam Liga Arab atas kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya pengakuan kemerdekaan, tanggal 5 Maret 1948 pesawat pemerintah Mesir T-CCB mendarat di Lapangan Maguwo dengan membawa bantuan obat-obatan dari pemerintah Mesir melalui Palang Merah Internasional.

Dome 3


Pembukaan Pekan Olah Raga Nasional (PON) Indonesia Pertama.


Ditengah gejolak revolusi menghadapi Belanda yang ingin berkuasa di Indonesia dan berbagai tekanan berupa pemberontakan, penyelenggaraan PON tetap dapat dilaksanakan. PON berlangsung dari tanggal 9-12 September 1948 di Lapangan Sriwedari Solo. Upacara pembukaan dilakukan di halaman Istana Negara Yogyakarta, yang dihadiri oleh Presiden Sukarno, Ibu Fatmawati, Sri Sultan HB IX, Sri Paku Alam VIII, pejabat setempat lainnya, dan juga wakil KTN.
Setelah upacara pembukaan, dilanjutkan gerak jalan massal dengan membawa bendera PON dari Yogyakarta menuju Solo, yang kemudian dikibarkan di Stadion Sriwedari Solo selama pelaksanaan PON. Dalam PON tersebut ditampilkan berbagai cabang olahraga antara lain sepak bola, bola keranjang, bola basket, bulu tangkis, atletik, renang, tenis, panahan, pencak silat, dll.

Dome 4


Pada tanggal 17 Desember 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada perintah Indonesia untuk mengakui sepenuhnya kedaulatan Belandndonesia dan harus dijawab dalam waktu 24 jam. Karena batas waktu yang terlalu singkat maka pemerintah Indonesia tidak dapat segera menyampaikan jawaban. Akhirnya pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00, Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo dan berhasil menguasainya. Selanjutnya, pasukan Belanda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta dan di sepanjang jalan tidak segan-segan menembak mati rakyat yang dianggap menghalangi operasi militer mereka.

Dome 5


Ketika terjadi agresi militer Belanda II, stasiun pemancar radio Angkatan Udara Republik Indonesia PHB-PC2 berhasil diselamatkan di rumah bapak Payirosetomo di desa Banaran, Playen, Gunungkidul sejak Januari sampai aret 1949. Stasiun pemancar radio ini berhasil mengirimkan berita Besan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke seluruh dunia secara berantai melalui stasiun pemancar radio PDRI di Bukit Tinggi, stasiun pemancar radio AURI di Aceh, stasiun pemancar radio AURI pada Indonesia Airways di Birma, stasiun pemancar radio India dan diteruskan ke perwakilan Republik Indonesia di PBB di New York.

Dome 6


Perlawanan rakyat Indonesia dengan cara gerilya menyebabkan pasukan Belanda kebingungan sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Seperti yang terjadi di dusun Jati, Wonokromo, Pleret, Bantul pada tanggal 1 Februari 1949, tentara Belanda melakukan intimidasi terhadap rakyat dengan dalih mencari markas gerilyawan. Meskipun disiksa, rumahnya dibakar bahkan ada yang dibunuh, rakyat tidak mau menunjukkan markas gerilyawan. Mereka memilih mati atau disiksa oleh tara Belanda daripada harus mengkhianati perjuangan kemerdekaan.

Dome 7


Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta mendapat perlawanan hebat dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan gerilyawan. Panglima Besar Jenderal Soedirman memberikan perintah kilat untuk melawan agresi tersebut dengan cara bergerilya. Penghadangan dan penyerangan terhadap patroli Belanda dilakukan di berbagai tempat oleh TNI. Salah satunya adalah penghadangan dan penyerangan terhadap patroli tentara Belanda di dusun Mrisi, Kasihan, Bantul pada tanggal 19 Februari 1949 yang dilakukan oleh Batalyon Sardjono pimpinan Mayor Sardjono.

Dome 8


Sabotase Jembatan Duwet untuk Menghambat Agresi Militer Belanda II.


Pada masa Agresi Militer Belanda II, Belanda selalu melancarkan aksi pembersihan di desa-desa yang dianggap kubu gerilyawan. Aksi ini membuat rakyat merasa tidak aman dan ikut mengungsi keluar kota bergabung dengan para gerilyawan. Kulonprogo merupakan salah satu daerah yang menjadi tujuan pengungsi dan pejuang. Untuk mencapai Kulonprogo harus melewati jembatan Duwet. Agar gerakan pembersihan tidak sampai ke markas pejuang di Kulonprogo, maka Belanda dikecoh dengan peledakan jembatan Duwet sehingga mereka tidak dapat sampai ke daerah Kulonprogo.

Dome 9


Pada masa Agresi Militer Belanda II, para gerilyawan tinggal di desa-desa. Untuk membantu para gerilyawan, masyarakat berbuat apa saja guna mendukung perjuangan termasuk penyediaan logistik melalui penyelenggaraan dapur umum. Salah satunya adalah dapur umum yang berada di rumah kepala desa Banaran, Banjarasri (Bapak Kariyo Oetomo) yang diselenggarakan guna menunjang operasional pasukan dibawah pimpinan Kolonel Tahi Bonar Simatupang. Selain sebagai dapur

Dome 10


Pada masa Agresi Militer Belanda II, para gerilyawan tinggal di desa-desa. Untuk membantu para gerilyawan, masyarakat berbuat apa saja guna mendukung perjuangan termasuk penyediaan logistik melalui penyelenggaraan dapur umum. Salah satunya adalah dapur umum yang berada di rumah kepala desa Banaran, Banjarasri (Bapak Kariyo Oetomo) yang diselenggarakan guna menunjang operasional pasukan dibawah pimpinan Kolonel Tahi Bonar Simatupang.

Dome 11


Serangan Umum 1 Maret 1949.


Setelah Agresi Militer Belanda II, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda. Salah satu strategi tersebut adalah Serangan Umum 1 Maret 1949, yaitu serangan terhadap Kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan sanggup melakukan perlawanan, sehingga dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. Soeharto yang pada waktu itu menjabat komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Dome 12


Pencegatan Konvoi Tentara Belanda.


Adanya Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sampai ke PBB menyebabkan Belanda merasa dipermalukan. Pasca serangan tersebut, Belanda semakin gencar dalam patroli keluar kota. Tanggal 10 Maret 1949, pasukan Belanda dibawah Kol. Van Langen melakukan patroli dengan tujuan ke lapangan Gading Wonosari. Dalam patroli ini melibatkan tentara terjun payung. Akan tetapi patroli Belanda itu mendapat perlawanan dari pejuang dan rakyat. Pada saat pasukan Belanda akan menuju Wonosari, sampai di jembatan Piyungan Kapten Widodo dan anak buahnya memasang trek bom di bawah jembatan Piyungan. Trek bom itu akan diledakkan saat pasukan Belanda melewati jembatan.

Dome 13


Perlawanan Tentara Pelajar di Daerah Sleman.


Tentara Pelajar (TP) merupakan organisasi militer dengan anggota para pelajar. Mereka dibagi dalam detasemen, batalyon dan kompi. Untuk memperkuat pertahanan sektor utara, ditempatkan detasemen III Brigade 17 TP dibawah Komandan Martono. Mereka menempati rumah-rumah penduduk di pedukuhan Tanjung dan Balong sebagai markasnya, sedangkan wilayah operasinya meliputi daerah Sleman Tengah. Mereka sering melakukan pecegatan dan penyerangan terhadap pasukan Belanda yang sedang mengadakan operasi. Untuk mengenang jasa-jasa perjuangan TP, di lokasi pertempuran, yaitu Redjodani, Sleman didirikan sebuah monumen.

Dome 14


Pasukan Gerilya Masuk Kota. Serangan umum 1 Maret 1949 telah membuka mata dunia bahwa yang diberitakan Belanda selama ini adalah omong kosong. Selanjutnya, atas inisiatif UNCI (United Nations Commisoin for Indonesia ) diadakan perundingan antara RI dengan Belanda yang disebut Persetujuan Roem Royen, dan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 Dengan adanya persetujuan tersebut, maka dibawah pengawasan UNCI, tentara Belanda yang masih ada di Yogyakarta segera ditarik, dimulai dari pos Wonosari tanggal 24 Juni 1949. Tanggal 29 Juni 1949 sore seluruh Kota Yogyakarta berhasil kembali ke tangan RI, sehingga diperingati sebagai “ Yogya Kembali”.

Dome 15


Para Pemimpin Negara Kembali ke Ibukota RI Yogyakarta.


Setelah tentara Belanda meninggalkan Kota Yogyakarta, tugas pengamanan menjadi tanggung jawab komandan WK III, Letkol Soeharto. Komandan WK III tidak hanya bertanggungjawab kepada Gubernur Militer III/Divisi III (Kolonel Gatot Subroto), tetapi juga bertanggungjawab kepada Menteri Koordinator Keamanan RI, Sri Sultan HB IX. Persiapan untuk menerima kedatangan para pemimpin RI segera dilakukan. Tanggal 6 Juli 1949 pukul 12.25, rombongan presiden,wakil presiden, Menteri Luar Negeri (Haji Agus Salim), Menteri Pendidikan (Ali Sastroamidjojo), ketua delegasi (Muhammad Roem), Kepala staf Angkatan Perang (Suryadi Suryadarma) beserta pemimpin lainnya tiba di lapangan terbang Maguwo dengan pesawat milik UNCI. Rombongan disambut oleh Sri Sultan HB IX dan selanjutnya menuju Gedung Agung.

Dome 16


Panglima Besar Jenderal Sudirman Menerima Penghormatan Parade Militer.


Setelah Yogya kembali, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para pemimpin yang lain tiba di Maguwo dari pengasingannya pada tanggal 6 Juli 1949. Waktu itu hanya Pangsar Soedirman yang belum tiba. Oleh karena itu, Letkol Soeharto diperintahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk ke markas gerilya Pangsar Soedirman di Sobo dan meyakinkan beliau agar mau masuk Kota Yogyakarta. Dari Sobo, Pangsar Jenderal Soedirman menuju Gedung Agung dan bertemu dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Kolonel TB. Simatupang. Setelah selesai menghadap Presiden dan memberikan laporan, kemudian Pangsar Soedirman menuju ke Alun-alun Utara untuk menerima devile penyambutan. Pada waktu itu berlangsung parade kebesaran dari pasukan TNI dan barisan pejuang lainnya.

Dome 17


Konferensi Inter Indonesia.


Persetujuan Roem Royen 7 Mei 1949, menyebutkan antara lain RI akan turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan dengan tidak bersyarat. Sebelum KMB dilaksanakan perlu diadakan pendekatan RI-BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg atau Pertemuan Musyawarah Federal) terutama dalam hubungannya dengan pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat). Maka tanggal 19 - 22 Juli 1949 diadakan Konferensi Inter Indonesia (KII) yang pertama. Konferensi diselenggarakan di Hotel Toegoe Yogyakarta, Jalan Pangeran Mangkubumi Yogyakarta. Pembukaan konferensi diadakan di Kepatihan Yogyakarta oleh Drs. Mohammad Hatta pada tanggal 19 Juli 1949.

Dome 18


Pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan RIS.
Upacara penandatangan naskah pengakuan kedaulatan RIS tersebut dilangsungkan di dua tempat, yaitu di Belanda dan Jakarta. Pada tanggal yang sama, di istana kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung) juga terjadi peristiwa penting, yaitu upacara penyerahan jabatan presiden Republik Indonesia dari Ir. Soekarno kepada Mr. Asaat. Sebagai presiden RIS, maka Ir. Soekarno harus terbang ke Jakarta untuk melaksanakan tugasnya yang baru. Menjelang keberangkatannya ke Jakarta, Presiden Soekarno berkenan menuliskan kesannya atas Kota Yogyakarta yang berbunyi sebagai berikut: “Yogyakarta menjadi termashur oleh karena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu.”