Pada tanggal 17 Desember 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada perintah Indonesia untuk mengakui sepenuhnya kedaulatan Belandndonesia dan harus dijawab dalam waktu 24 jam. Karena batas waktu yang terlalu singkat maka pemerintah Indonesia tidak dapat segera menyampaikan jawaban. Akhirnya pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00, Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo dan berhasil menguasainya. Selanjutnya, pasukan Belanda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta dan di sepanjang jalan tidak segan-segan menembak mati rakyat yang dianggap menghalangi operasi militer mereka.
Ketika terjadi agresi militer Belanda II, stasiun pemancar radio Angkatan Udara Republik Indonesia PHB-PC2 berhasil diselamatkan di rumah bapak Payirosetomo di desa Banaran, Playen, Gunungkidul sejak Januari sampai aret 1949. Stasiun pemancar radio ini berhasil mengirimkan berita Besan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke seluruh dunia secara berantai melalui stasiun pemancar radio PDRI di Bukit Tinggi, stasiun pemancar radio AURI di Aceh, stasiun pemancar radio AURI pada Indonesia Airways di Birma, stasiun pemancar radio India dan diteruskan ke perwakilan Republik Indonesia di PBB di New York.
Perlawanan rakyat Indonesia dengan cara gerilya menyebabkan pasukan Belanda kebingungan sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Seperti yang terjadi di dusun Jati, Wonokromo, Pleret, Bantul pada tanggal 1 Februari 1949, tentara Belanda melakukan intimidasi terhadap rakyat dengan dalih mencari markas gerilyawan. Meskipun disiksa, rumahnya dibakar bahkan ada yang dibunuh, rakyat tidak mau menunjukkan markas gerilyawan. Mereka memilih mati atau disiksa oleh tara Belanda daripada harus mengkhianati perjuangan kemerdekaan.
Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta mendapat perlawanan hebat dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan gerilyawan. Panglima Besar Jenderal Soedirman memberikan perintah kilat untuk melawan agresi tersebut dengan cara bergerilya. Penghadangan dan penyerangan terhadap patroli Belanda dilakukan di berbagai tempat oleh TNI. Salah satunya adalah penghadangan dan penyerangan terhadap patroli tentara Belanda di dusun Mrisi, Kasihan, Bantul pada tanggal 19 Februari 1949 yang dilakukan oleh Batalyon Sardjono pimpinan Mayor Sardjono.
Pada masa Agresi Militer Belanda II, para gerilyawan tinggal di desa-desa. Untuk membantu para gerilyawan, masyarakat berbuat apa saja guna mendukung perjuangan termasuk penyediaan logistik melalui penyelenggaraan dapur umum. Salah satunya adalah dapur umum yang berada di rumah kepala desa Banaran, Banjarasri (Bapak Kariyo Oetomo) yang diselenggarakan guna menunjang operasional pasukan dibawah pimpinan Kolonel Tahi Bonar Simatupang. Selain sebagai dapur
Pada masa Agresi Militer Belanda II, para gerilyawan tinggal di desa-desa. Untuk membantu para gerilyawan, masyarakat berbuat apa saja guna mendukung perjuangan termasuk penyediaan logistik melalui penyelenggaraan dapur umum. Salah satunya adalah dapur umum yang berada di rumah kepala desa Banaran, Banjarasri (Bapak Kariyo Oetomo) yang diselenggarakan guna menunjang operasional pasukan dibawah pimpinan Kolonel Tahi Bonar Simatupang.
Pasukan Gerilya Masuk Kota. Serangan umum 1 Maret 1949 telah membuka mata dunia bahwa yang diberitakan Belanda selama ini adalah omong kosong. Selanjutnya, atas inisiatif UNCI (United Nations Commisoin for Indonesia ) diadakan perundingan antara RI dengan Belanda yang disebut Persetujuan Roem Royen, dan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 Dengan adanya persetujuan tersebut, maka dibawah pengawasan UNCI, tentara Belanda yang masih ada di Yogyakarta segera ditarik, dimulai dari pos Wonosari tanggal 24 Juni 1949. Tanggal 29 Juni 1949 sore seluruh Kota Yogyakarta berhasil kembali ke tangan RI, sehingga diperingati sebagai “ Yogya Kembali”.
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan RIS.
Upacara penandatangan naskah pengakuan kedaulatan RIS tersebut dilangsungkan di dua tempat, yaitu di Belanda dan Jakarta. Pada
tanggal yang sama, di istana kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung) juga terjadi peristiwa penting, yaitu upacara
penyerahan jabatan presiden Republik Indonesia dari Ir. Soekarno kepada Mr. Asaat. Sebagai presiden RIS, maka Ir.
Soekarno harus terbang ke Jakarta untuk melaksanakan tugasnya yang baru. Menjelang keberangkatannya ke Jakarta, Presiden
Soekarno berkenan menuliskan kesannya atas Kota Yogyakarta yang berbunyi sebagai berikut:
“Yogyakarta menjadi termashur oleh karena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu.”