Salah satu adegan dome pertama pada Diorama II adalah Diorama adegan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sedang memimpin rapat yang dihadiri oleh para pemimpin berbagai kelompok pemuda di Kepatihan Yogyakarta Berlangsung di Gedung Wilis, Kepatihan, Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10.00 di kediaman Bung Karno Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta, telah diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Berkat jasa para pemuda nasionalis antara lain Pengulu Lubis, Sjahrudin, Rachmat Nasution, Asa Bagfagih, Sugimin (markonis), dan Wua (markonis) yang bekerja sama dengan para pemuda yang bermarkas di Menteng 31, berita tentang Proklamasi tersebut dapat disiarkan ke penjuru tanah air ketika karyawan kantor berita Domei Jakarta istirahat makan siang (Tashadi, dkk.) Berita Proklamasi yang disiarkan oleh Kantor Berita Domei Pusat Jakarta dapat diterima oleh Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 siang hari. Keragu-raguan itu akhirnya lenyap setelah Harian Sinar Matahari yang terbit pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hadir dalam pertemuan itu wakil kelompok pemuda dari golongan agama, nasionalis, kepanduan dan keturunan Cina yang jumlahnya kurang lebih 100 orang. Selanjutnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menyampaikan kata sambutan yang dimuat dalam Harian Sinar Matahari tanggal 20 Agustus 1945, yang berisi antara lain menghimbau agar seluruh lapisan masyarakat bersatu padu bahu-membahu untuk rela berkorban demi kepentingan bersama menjaga, memelihara, membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Pada tanggal 20 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat Yogyakarta (Yogyakarta Koci Hokokai), kembali mengirim telegram yang ditujukan kepada Ir. Soekarno dan Drs. M. Setelah memperhatikan keinginan rakyat dan atas persetujuan KNID maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII segera mengeluarkan amanat tanggal 5 September 1945 yang menyebutkan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman, yang keduanya bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Salah satu adegan dome kedua pada Diorama II adalah Diorama adegan Perebutan percetakan Harian Sinar Matahari dibawah pimpinan Samawi dan Sumantoro Berlangsung di Sebelah selatan Hotel Garuda Jl. Malioboro Yogyakarta tanggal pada 17 Agustus 1945. Para pemuda Yogyakarta yang dimusuhi Belanda waktu itu bekerja di harian Sinar Matahari. Pada waktu itu (jaman pendudukan Jepang) setiap berita yang diterima dari Jakarta sebelum disampaikan kepada Sinar Matahari terlebih dahulu harus diperiksa oleh Badan Sensor. Ketika terjadi aksi nasionalisasi gedung-gedung dan kantor-kantor yang dipergunakan oleh Jepang, gedung percetakan Harian Sinar Matahari di sebelah selatan Hotel Garuda Jl. Malioboro menjadi salah satu sasaran mereka. Dibawah pimpinan pejuang pers waktu itu yaitu Samawi dan Sumantoro, dibantu oleh para pekerja Harian Sinar Matahari yang berjiwa nasionalis seperti Bramono, Moeljono, Soeprijo Djojosupadmo, Djoemadi, Boerhan, Moehammad Noer, Drijodipoero serta para pemuda pelajar segera mengambil alih gedung percetakan tersebut bersama dengan peralatan yang ada. Pada waktu itu pula Sumarmadi juga berhasil mengambil alih Radio Jepang dan berkumandanglah RRI yang pertama di Yogyakarta. Untuk mengantisipasi di saat suasana hubungan RI dengan Jepang sedang memanas, maka pada bulan September 1945 dengan bantuan Samawi, Sumantoro dan Bramono, Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta segera menyegel Harian Sinar Matahari.
Dome ketiga menggambarkan Kyai Haji Ahmad Dahlan saat menyampaikan gagasannya dalam pertemuan yang memutuskan berdirinya Organisasi Muhammadiyah di Kauman, Gondomanan Yogyakarta, pada 18 November 1912. Sejarah singkat diorama tersebut mencerminkan kondisi keagamaan Islam di Indonesia pada akhir abad XIX yang mengkhawatirkan. Kyai Haji Ahmad Dahlan merasa perlunya Tajdid (reformasi) untuk mengembalikan pengamalan Islam kepada Al Quran dan As-Sunnah. Inisiatif ini mengarah pada berdirinya Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta, dengan dukungan ulama seperti KH. Abdullah Siraj, KH. Ahmad, KH. Abdurrahman, dan lainnya. Setelah pendirian Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan mengajukan surat permintaan "rechtsperson" kepada Gubernur Jenderal Belanda pada 20 Desember 1912, yang dikabulkan pada 22 Agustus 1914. Pengakuan Muhammadiyah sebagai badan hukum awalnya hanya berlaku di Yogyakarta, tetapi kemudian berkembang ke daerah-daerah lain. Muhammadiyah tidak hanya fokus pada dakwah, tetapi juga membuka kursus, mendirikan sekolah umum dan madrasah, serta berperan aktif dalam bidang kesehatan dan sosial. Pada awalnya, Muhammadiyah diizinkan membuka cabang di luar Yogyakarta dengan nama lain, seperti Nurul Islam di Pekalongan dan Almunir di Makasar. Di dalam kota Yogyakarta, muncul berbagai jamaah dan perkumpulan pengajian yang mendapat bimbingan dari Muhammadiyah. Pada tahun 1920, Muhammadiyah mendapatkan izin untuk membentuk cabang di Yogyakarta dan pada 1921 diusulkan untuk kesempurnaan maksud dan tujuan persyarikatan Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Muhammadiyah menjadi pelopor kebangunan Islam dan nasional di Indonesia, memainkan peran kunci dalam upaya memodernisasi dan mengembangkan Islam serta mendidik manusia muslim yang berpendidikan intelek.
Salah satu adegan dome ketiga pada Diorama II adalah Diorama adegan Para pemuda antara lain Slamet, Sutan Ilyas, Supardi, Rusli dan pemudi Siti Ngaisyah sedang mengganti bendera Hinomaru dengan bendera Merah Putih di atap Gedung Cokan Kantai (Gedung Agung, sekarang) Berlangsung di Gedung Agung Jl. A. Pada tanggal 21 September 1945, sebelum terjadi penurunan bendera Hinomaru di gedung Cokan Kantai, rakyat bergerak menuju Balai Mataram (Senisono sekarang) untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Ribuan rakyat Yogyakarta yang sebagian besar pemuda pelajar telah berkumpul di depan Gedung Cokan Kantai (Gedung Agung) dengan dikawal oleh satu kompi pasukan Polisi Istimewa. Mereka bermaksud menurunkan bendera Hinomaru di atas atap Gedung Cokan Kantai dan ingin menggantinya dengan bendera Merah Putih. Sebelum peristiwa itu terjadi, sebetulnya telah ada delegasi Indonesia yang menghadap Jepang di Gedung Cokan Kantai untuk meminta menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Merah Putih, dan dikabulkan.
Salah satu adegan dome keempat pada Diorama II adalah Diorama adegan Pesawat RAF (Royal Air Force) Sekutu melakukan terhadap Gedung RRI, Balai Mataram (Senisono) dan Gedung Sonobudoyo Yogyakarta Berlangsung di Balai Mataram (Senisono, sekarang) Jl. A. Karena menyediakan minuman keras, maka bangunan tersebut juga dikenal dengan Geneverhuis. Setelah terjadi perundingan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Bethel, Sekutu mundur ke Ambarawa pada tanggal 21 November 1945. Untuk menghadapi pasukan Sekutu di Ambarawa, dari Yogyakarta dikirim batalyon gabungan dibawah pimpinan Letkol Umar Slamet dan Komandan Resimen II Letkol Palal. Oleh karena itu dengan dalih membungkam siaran kaum ektrimis, teroris tersebut tentara Sekutu dengan pesawat RAF (Royal Air Force) menjatuhkan bom di atas kota Yogyakarta dengan sasaran RRI di Jl. Ngabean 1. Tanggal 25 November 1945 bom mulai dijatuhkan dan mengenai sebagian bangunan Museum Sonobudoyo. Kali ini terjadi tanggal 27 November 1945, dan mengenai bagian depan Balai Mataram sehingga hancur rata dengan tanah.
Salah satu adegan dome kelima pada Diorama II adalah Diorama adegan Rakyat yang sebagian besar pemuda pelajar dan BKR
mengadakan kontak senjata dengan tentara Jepang di Kotabaru (markas Batalyon Kido, atau Kido Butai) Berlangsung di
Kotabaru, Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 7 Oktober 1945. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, BPU (Barisan Penjagaan Umum),
KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), Polisi, BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan rakyat berhasil menjalin kerjasama yang
harmonis dengan para pemuda untuk melakukan gerakan perebutan kekuasaan dan perebutan senjata Jepang. Sementara
perundingan sedang berlangsung, ribuan rakyat dan pemuda yang digerakkan oleh KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah),
BPU (Barisan Penjagaan Umum), BKR (Badan Keamanan Rakyat), dan PI (Polisi Istimewa) bergerak menuju Kotabaru. Mayor
Otzuka mencoba mengulur waktu dengan menyatakan bahwa mau menyerahkan senjata Jepang pada jam 10.00 WIB setelah mendapat
ijin dari Jenderal Nakamura yang berkedudukan di Magelang. Rakyat dan pemuda didukung oleh BKR dan PI yang telah
berkumpul di sekitar Kotabaru sejak pukul 23.00 WIB tidak sabar lagi untuk mengadakan penyerbuan ke markas Jepang di
Kotabaru. Kemudian pimpinan TKR meminta kepada Butaico di Pingit agar mau menasehati Bataico Kotabaru Mayor Otzuka
supaya bersedia menyerahkan senjatanya kepada TKR. Dan kemudian dijawab bahwa Mayor mau menyerahkan senjata
Jepang hanya kepada Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dalam pertempuran yang berlangsung di Kotabaru Yogyakarta tanggal 7 Oktober 1945 tersebut gugur sebanyak 21pemuda
pejuang yang kemudian nama-nama mereka diabadikan sebagai nama-nama jalan di Kotabaru dan sekitarnya antara lain :
( I Dewa Nyoman Oka , Amat Djazuli , Faridan M. Noto , Bagong Ngadikan , Suroto , Syuhada , Sudjijono , Sunaryo , Supadi , Djuwadi , Hadidarsono , Sukartono , A. Djohar Nurhadi , Sabirin , Mohammad Sareh , Mohammad Wardani , Trimo , Ahmad Zakir , Umar Kalipan , Abu Bakar Ali , Atmo Sukarto )
Guna memberi penghormatan kepada para pahlawan dan syuhada di seluruh Yogyakarta dikibarkan bendera setengah tiang. Kemudian jenazah para pahlawan tersebut pada sore harinya sekitar pukul 16.00 diberangkatkan dari Gedung Agung menuju Taman Bahagia (Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, sekarang) di Semaki. Kurang lebih 17 jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Semaki Yogyakarta. Sedangkan 3 jenazah lainnya dimakamkan di Pemakaman sebelah barat Masjid Agung Yogyakarta. Jenazah Faridan M. Noto dimakamkan di Makam keluarga Glagah, Kulon Progo, Yogyakarta.Salah satu adegan dome keenam pada Diorama II adalah Diorama adegan Polisi Istimewa dibawah pimpinan Oni Sastroadmodjo dan massa rakyat melucuti senjata Jepang di Gayam Berlangsung di Gayam, Yogyakarta pada tanggal 23 September 1945. Pada tanggal 23 September 1945, tentara Jepang secara diam-diam berhasil melucuti senjata kesatuan Polisi Istimewa di Gayam yang kemudian disimpan di dalam gudang. Tetapi karena perundingan gagal maka pada tanggal 23 September 1945 pukul 21.00 WIB massa rakyat dan polisi bergerak mengepung markas dan gudang senjata Jepang di Gayam tersebut.
Isi dari persetujuan tersebut bahwa pengangkutan dan pelucutan tentara Jepang yang ada di daerah pendudukan RI akan dilakukan oleh TRI. Pada tanggal 24 April 1946 mulai dilakukan pengangkutan bekas tawanan perang dan interneeran Sekutu (Allied Prisoneer of War and Interneer) APWI yang pertama kali yang ditawan Jepang selama Perang Dunia II dari daerah RI ke Jakarta. Memenuhi apa yang pernah dikemukakan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang disampaikan kepada Sekutu, maka pada tanggal 28 April 1946 dari Yogyakarta diberangkatkan kurang lebih 550 orang tawanan Belanda dan Jepang dengan menggunakan kereta api istimewa menuju Stasiun Manggarai Jakarta.
Bangunan Chritelijk Mulo ini adalah bekas Christelijke MULO School yang pada zaman kemerdekaan ditempati oleh Akademi Militer Yogyakarta (Mei 1946 - Desember 1948). Akademi Militer Yogyakarta adalah Akademi Militer Republik Indonesia pertama yang lahir pada masa revolusi, tepatnya 31 Oktober 1945yang diprakarsai oleh Jenderal Oerip Sumoharjo yang menjabat sebagai Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (KSUTKR) bulan Oktober 1945. Sekolah inilah yang nantinya menjadi Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang. Pada awal berdirinya Akademi Militer menggunakan gedung Chritelijk Mulo. Hanya bermodal idea, kemauan dan semangat pengabdian dari Jenderal Oerip Sumoharjo dibantu oleh Kolonel Samidjo (mantan anggota KNIL) dan kawan-kawan lainnya Akademi Militer dapat terwujud.
Alun-alun Utara dan Balai Mataram (sekarang Senisono), 10s.d. 11 November 1945, Presiden Soekarno menuju mimbar tempat diadakannya rapat raksasa pada kongres pemuda Indonesia di Yogyakarta Uralan Singkat Tanggal 31 Oktober 1945 di Balai Mataram Yogyakarta diadakan rapat dihadiri perwakilan pemuda Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Staf Wartawan Kementerian Penerangan. Rapat sepakat untuk mengadakaan Kongres Pemuda Seluruh Indonesia. Pada tanggal 10-11 Nopember 1945 diadakan Kongres Pemuda Indonesia di Balai Mataram. Pembukaan kongres dilakukan di Alun-alun Utara (tgl. 10 Nopember 1945). Kongres dipimpin oleh Chaerul Selah dan dihadiri oleh 332 orang utusan dari 30 organisasi pemuda di Indonesia.
Tokoh yang terlibat : Presiden Soekarno dan para pembesar tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta ketika hijrah dari Jakarta Kondisi keamanan di Jakarta sudah tidak memungkinkan lagi untuk penyelenggaraan pemerintahan RI. Ada upaya pembunuhan terhadap PM Sutan Sjahrir (tgl. 26 Desember r 1945), 1945). terhadap Amir Sjarifudin (tgl. 28 Desember 1945), ditambah adanya pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok tanggal 30 Desember 1945. Oleh karena itu, sidang kabinet tanggal 3 Januari 1946 memutuskan memindahkan ibukota Rl ke Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan pemimpin negara lainnya, hijrah ke Yogyakarta.
Para seniman Yogyakarta membuat poster untuk membakar semangat juang rakyat Yogyakarta ditempat-tempat strategis. Selama masa revolusi fisik para seniman telah ikut aktif dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Banyak ceka lakukan untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan seperti pembuatan poster, plakat, selebaran, semangat perjuangan, bahkan juga mendesain uang kertas ORI (Oeang Republik Indonesia), serta melibatkan diri secara fisik dalam perjuangan.
Setelah terbentuk BKR Udara di Indonesia, salah satu usaha yang dilakukan adalah merebut pangkalan udara milik Jepang lengkap dengan fasilitasnya. Ketika BKR diubah namanya menjadi TKR, maka BKR Udara menjadi TKR Udara dan dikenal dengan TKR Jawatan Penerbangan. Para tehnisi memperbaiki pesawat-pesawat Jepang dan dijadikan modal berdirinya TKR Udara. Pada tanggal 27 Oktober 1945 Agustinus Adisucipto berhasil menerbangkan pesawat Cureng dengan identitas Merah Putih. Penerbangan ini merupakan penerbangan pertama sejak Indonesia Merdeka oleh penerbang Indonesia. Untuk memajukan kedirgantaraan di Indonesia, maka atas prakarsa Agustinus Adisucipto supaya diselenggarakan pendidikan penerbangan bagi putra-putri Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan, salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah keterbatasan persenjataan bagi tentara dan pejuang. Sedangkan revolusi sedang berjalan. Upaya untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satu pabrik senjata yang dioperasi di Yogyakarta adalah Pabrik senjata Demakijo dibawah pimpinan Ario Damar. Pabrik ini pindahan dari pabrik senjata di Bandung yang menempati bekas bangunan pabrik gula masa colonial Belanda. Walaupun hanya beroperasi selama 2 tahun, pabrik ini berhasil merakit senjata seperti pistol, granat gombyok, mortir maupun sten gun. Bahan dan peralatan yang digunakan di pabrik ini masih sangat sederhana dan menggunakan peralatan barang-barang bekas seperti bekas tiang telepon , tiang listrik sebagai laras meriam, pipa saluran air untuk laras senapan dan sebagainya.
Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, para pelajar tidak tinggal diam. Mereka membentuk organisasi pelajar berorientasi perjuangan. Demikian pula dengan para pemuda dan pelajar di Yogyakarta. Mereka menceburkan diri dalam kancah perjuangan bersama GAPI (Gabungan Pemuda Indonesia), MOBPEL (Mobilisasi Pelajar), IPI (Ikatan Pelajar Indonesia), dan TP (Tentara Pelajar). Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga apabila musuh menyerang. Nampak para pemuda sedang berlatih kemiliteran di lapangan Bumijo
Pada tanggal 29 Juli 1947, pesawat VT-CLA milik pengusaha India bernama Bijoyanda Patnaik terbang mengangkut obat- obatan sebanyak 2 ton bantuan dari Palang Merah. Ketika terbang rendah untuk mendarat di Maguwo tiba-tiba ditembak pesawat Belanda Kitty Hawk P-40. Akibatnya pesawat kehilangan keseimbangan dan jatuh di Jatikarang Tamanan Gondowulung, Bantul. Satu-satunya korban yang selamat adalah Abdul Gani Handonocokro. Para pejuang yang gugur antara lain Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, Prof. Dr. Abdurakhman Saleh, Letnan Udara Adisumarmo Wiyokusumo.
Jenderal Soedirman dilantik sabagal Panglima Besas TNI dich Presiden Soekarno, yang juga disertai dengan pelantikan
pucuk pimpinan TNI yang lain yang lain.
TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Tanggal 1 Januari 1946 TKR diubah menjadi Tentara Keselataman Rakyat.
Selanjutnya pada tanggal 24 Januari 1946 menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Pada tanggal 7 Juni 1947 keluarlah
Penetapan Presiden yang menyatakan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Panglima TNI dijabat oleh Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Soedirman. Setelah dengan resmi TNI berdiri maka pada
tanggal 28 Juni 1947 di Istana