Dome 1


Diorama tersebut menggambarkan adegan perlawanan Pangeran Diponegoro dan sekutunya di Gua Selarong pada bulan Juli 1825. Mereka, termasuk Pangeran Mangkubumi, Pangeran Angabei Jayakusumo, Alibasah Sentot Prawiradirja, dan Kyai Maja, mengatur strategi melawan pasukan Belanda yang mengepung Dalem Tegalreja. Setelah peristiwa tersebut, kaum bangsawan, termasuk keturunan Sultan Hamengkubuwana I, II, dan III, meninggalkan istana dan bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, membentuk pasukan yang bersatu. Pada akhir Juli 1825, di Selarong, beberapa bangsawan Yogyakarta berkumpul, seperti Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegara, dan lainnya. Pangeran Diponegoro memimpin pasukannya dengan menugaskan Jayamenggala, Bahuyuda, dan Hanggawikrama untuk memobilisasi penduduk sekitar Selarong dan bersiap-siap untuk perang. Pangeran Diponegoro juga melakukan perencanaan strategis serta memimpin markas besar dengan stafnya, termasuk Pangeran Mangkubumi, Pangeran Angabei Jayakusumo, Alibasah Sentot Prawiradirja, dan Kyai Maja. Perang pecah pada 7 Agustus 1825, ketika pasukan Pangeran Diponegoro menyerbu Yogyakarta dengan kekuatan 6.000 orang. Meskipun Belanda terkejut, mereka berhasil merebut Yogyakarta, memastikan keselamatan Sultan HB V, dan mengisolasi kraton. Pasukan Pangeran Diponegoro tetap berjuang dengan taktik gerilya, menyebabkan Perang Jawa yang berlarut-larut dan mencakup wilayah luas dengan pengaruhnya yang meluas di seluruh Jawa. Pasukan Belanda mengalami kerugian besar, sedangkan pasukan Diponegoro kehilangan ribuan orang. Setelah pertempuran yang sengit, Pangeran Diponegoro akhirnya dihadapkan pada perundingan dengan Jenderal De Kock di Magelang pada Maret 1830. Meski awalnya mencoba mencapai kesepakatan damai, perundingan gagal, dan Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya ditangkap. Pada tahun 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado dan kemudian ke Ujung Pandang hingga wafat pada 8 Januari 1855.

Dome 2


Dome kedua menggambarkan Sutomo dari STOVIA yang menyampaikan gagasannya dalam Kongres Boedi Oetomo di Kweekschool Jetis pada 3-5 Oktober 1908 di Ruang Makan Kweekschool Yogyakarta. Boedi Oetomo, organisasi pergerakan nasional Indonesia pertama, didirikan pada 20 Mei 1908 di ruang anatomi STOVIA oleh dokter Wahidin Sudirohusodo. Gagasan ini muncul dari perjalanan dokter Wahidin yang berusaha meningkatkan martabat rakyat melalui propaganda di kalangan priyayi Jawa sekitar tahun 1906-1907, membentuk Dana Pelajar untuk membantu pemuda pribumi berbakat namun menghadapi kendala dalam pembiayaan studi mereka. Pada 20 Mei 1908, Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan Boedi Oetomo di ruang anatomi Gedung STOVIA, menetapkan tujuan memajukan berbagai aspek, mulai dari pengajaran hingga pertanian dan kebudayaan. Mereka membentuk kepengurusan pertama dengan Sutomo sebagai Ketua dan segera mengajukan surat ke kota-kota lain untuk mendapatkan dukungan. Pembicaraan mengenai kongres pertama Boedi Oetomo dilaksanakan pada 8 Agustus 1908, memilih Dr. Wahidin Soedirohoesodo sebagai pimpinan Kongres dan Yogyakarta sebagai tempat kongres. Pada 3-5 Oktober 1908, kongres tersebut dihadiri oleh peserta dari berbagai daerah dan dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti R. Soetomo dan dr. Wahidin Soedirohoesodo. Mereka membahas permasalahan pendidikan, budaya, dan pengaruh Barat di kalangan masyarakat Jawa. Boedi Oetomo, sejak terbentuk hingga tahun 1909, mendapatkan sambutan positif dengan 40 cabang. Awalnya, organisasi ini memberi kesempatan bagi golongan bangsawan dalam kepemimpinan, namun perkembangannya melibatkan masyarakat lebih luas hingga terlibat dalam politik, mengubah prinsip menjadi nonkooperasi pada Kongres 1928, dan akhirnya bertransformasi menjadi Partai Indonesia Raya (PARINDRA) pada Kongres Desember 1934.

Dome 3


Dome ketiga menggambarkan Kyai Haji Ahmad Dahlan saat menyampaikan gagasannya dalam pertemuan yang memutuskan berdirinya Organisasi Muhammadiyah di Kauman, Gondomanan Yogyakarta, pada 18 November 1912. Sejarah singkat diorama tersebut mencerminkan kondisi keagamaan Islam di Indonesia pada akhir abad XIX yang mengkhawatirkan. Kyai Haji Ahmad Dahlan merasa perlunya Tajdid (reformasi) untuk mengembalikan pengamalan Islam kepada Al Quran dan As-Sunnah. Inisiatif ini mengarah pada berdirinya Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta, dengan dukungan ulama seperti KH. Abdullah Siraj, KH. Ahmad, KH. Abdurrahman, dan lainnya. Setelah pendirian Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan mengajukan surat permintaan "rechtsperson" kepada Gubernur Jenderal Belanda pada 20 Desember 1912, yang dikabulkan pada 22 Agustus 1914. Pengakuan Muhammadiyah sebagai badan hukum awalnya hanya berlaku di Yogyakarta, tetapi kemudian berkembang ke daerah-daerah lain. Muhammadiyah tidak hanya fokus pada dakwah, tetapi juga membuka kursus, mendirikan sekolah umum dan madrasah, serta berperan aktif dalam bidang kesehatan dan sosial. Pada awalnya, Muhammadiyah diizinkan membuka cabang di luar Yogyakarta dengan nama lain, seperti Nurul Islam di Pekalongan dan Almunir di Makasar. Di dalam kota Yogyakarta, muncul berbagai jamaah dan perkumpulan pengajian yang mendapat bimbingan dari Muhammadiyah. Pada tahun 1920, Muhammadiyah mendapatkan izin untuk membentuk cabang di Yogyakarta dan pada 1921 diusulkan untuk kesempurnaan maksud dan tujuan persyarikatan Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Muhammadiyah menjadi pelopor kebangunan Islam dan nasional di Indonesia, memainkan peran kunci dalam upaya memodernisasi dan mengembangkan Islam serta mendidik manusia muslim yang berpendidikan intelek.

Dome 4


Dome keempat menampilkan adegan RM. Soeryopranoto berdialog dengan pimpinan Pabrik Gula di Yogyakarta saat terjadi pemogokan buruh pada 20 Agustus 1920. Pabrik gula tersebut menjadi saksi ketidakpuasan buruh terhadap kondisi hidup yang sulit, terutama akibat inflasi pasca-Perang Dunia I yang membuat upah buruh sangat rendah. Pada awal abad XX, kondisi buruh di sekitar Yogyakarta sangat memprihatinkan, mendorong RM. Soeryopranoto untuk memimpin berdirinya Personeel Fabrieks Bond (PFB) pada November 1918. PFB tumbuh menjadi organisasi yang kuat dan berada di bawah SI (Sarekat Islam) cabang Yogyakarta, dipimpin oleh RM. Soeryopranoto. Dengan dukungan ini, PFB berhasil membela nasib buruh, mencapai anggota sebanyak 30.000 orang, dan memberikan pertolongan kepada keluarga buruh di sekitar Yogyakarta. RM. Soeryopranoto, selain sebagai ketua PFB, juga merupakan anggota pengurus Central Sarekat Islam, dan pemimpin Adhi Dharma. Dengan keberaniannya menuntut perbaikan nasib buruh, ia mendapat julukan "komandan tentara buruh." PFB, dengan pengurus pusat yang terbentuk pada Februari 1919, berhasil mempengaruhi gerakan buruh di seluruh Jawa dan menjadi organisasi buruh terbesar di Hindia Belanda pada akhir tahun 1919. Pada tanggal 20 Agustus 1920, RM. Soeryopranoto memimpin aksi pemogokan buruh pabrik gula di Yogyakarta. Meskipun pemerintah Belanda melarang pemogokan, keberanian kaum buruh membawa hasil positif, dengan pihak penguasa pabrik akhirnya menaikkan upah buruh sebesar 50%. Tindakan ini memberi inspirasi bagi pemogokan buruh di sektor lain, dan RM. Soeryopranoto dijuluki "de staking konig" atau raja pemogokan.

Dome 5


Dome kelima adalah adegan Ki Hadjar Dewantara sedang menyampaikan gagasannya pada saat dicetuskannya berdirinya National Onderwijs Instituut Tamansiswa. Bertempat di Jl. Tanjung No. 32 (sekarang Jl. Gadjah Mada No. 32) Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922. Sejarah singkat dari diorama tersebut menceritakan pada masa kolonial terjadi ketimpangan dalam hal pemerataan pendidikan. Sistem pendidikan yang berlaku lebih banyak berorientasi pada kepentingan bangsa Belanda dari pada rakyat pribumi. Hal ini menjadi tantangan bagi bagi kaum pergerakan untuk menciptakan iklim yang baru dalam dunia pendidikan yang berdasarkan pada kebudayaan dan kepentingan rakyat Indonesia. Dari mereka lahir gagasan untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari penindasan tersebut. Mereka kemudian membentuk sebuah forum untuk membicarakan masalah nasib bangsa Indonesia yang kemudian dikenal dengan “Perkumpulan Selasa Kliwon” di Yogyakarta. Forum ini beranggotakan antara lain RM. Soetatmo Soerjokoesoemo, RM. Soerjopoetro, BRM. Soebono, Ki Pronowidigdo, RM. Soewardi Soerjoningrat (Ki Hadjar Dewantara), Ki Ageng Soerjo Mataram, Ki Soetopo Wonoboyo dan RM. Gondo Atmodjo. Dari beberapa pertemuan, mereka telah berhasil membangun niat untuk membangun jiwa merdeka Bangsa Indonesia. Oleh karenanya dilanjutkan dengan pembagian tugas sebagai berikut :

- RM. Soewardi Soerjoningrat (Ki Hadjar Dewantara) bertugas dalam masalah pendidikan anak.
- Ki Ageng Soerjo Mataram bertugas menggarap jiwa merdeka bagi orang dewasa. Media ajarannya terkenal dengan “Kawruh Begja”.
- RM. Soerjopranata (kakak Ki Hadjar Dewantara) seorang tokoh SI dan pemimpin Adidharma bertugas mematangkan pikiran kaum buruh, yang karena keberaniannya mendapat julukan de staking konig (raja pemogokan).

Ketika hasrat akan pengajaran rakyat bumi putra sedang bergolak-golak, RM. Soewardi Soerjoningrat tokoh Perkumpulan Selasa Kliwon, pada tanggal 3 Juli 1922 berhasil mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa di Tanjung Weg 32 (sekarang Jl. Gadjah Mada 32 Yogyakarta). Sistem pendidikan di dalamnya terkenal dengan Sistem Among yang mendasarkan pada dua landasan pokok yaitu : Pertama, Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin, sehingga dapat hidup berdiri sendiri. Dan kedua, Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Pada tanggal 6 Januari 1923 di dalam National Instituut Tamansiswa dibentuk sebuah majelis yang disebut “Instituutraad” yang bertugas memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensi di Yogyakarta pada tanggal 20 – 22 Oktober 1923, perguruan ini memperluas Instituut menjadi Hoofdraat (majelis luhur), dengan susunan sebagai berikut : Ketua : RM. Soetatmo Soeryokoesoemo Ketua II : RM. H. Soerjopoetro Panitera Umum : Ki Hadjar Dewantara Anggota : Ki Pronowidigdo, M.Ng. Wiyodihardjo, R. Roedjito, Mr. Soeyoedi, RM. Soeryodipoero Penasehat : Ki Prawirowiworo Baru pada tahun 1930 nama National Onderwijs Instituut Tamansiswa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perguruan Nasional Tamansiswa.

Dome 6


Dome keenam menciptakan gambaran Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada tanggal 22 hingga 25 Desember 1928, yang dipimpin oleh Ny. Soekonto di Dalem Joyodipuran. Kesadaran nasional yang tumbuh di Indonesia turut dirasakan oleh kaum wanita, termanifestasi dalam lahirnya organisasi pergerakan wanita modern seperti Putri Mardika, Kautaman Istri, Pawiyatan Wanito, dan lainnya pada awal abad XX. Perkembangan organisasi wanita semakin meluas pada tahun 1920, terutama dalam merangkul masyarakat bawah. Di Yogyakarta, terdapat beberapa kelompok wanita terpelajar seperti Wanita Utomo, Wanita Mulyo, dan Wanita Katholik. Tahun 1928 menjadi tonggak sejarah dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I di Dalem Joyodipuran, dihadiri oleh 1.000 wakil dari 30 organisasi wanita, termasuk Wanita Utomo, Aisyiah, Wanita Tamansiswa, Poetri Indonesia, dan lainnya. Kongres tersebut diprakarsai oleh Ny. Sukonto, Nyi Hadjar Dewantara, dan Nn. Sujatin, dengan dukungan tujuh organisasi wanita. Melalui kongres ini, terbentuklah "Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia" (PPPI) dengan tujuan memperkuat solidaritas antarperkumpulan wanita, membahas kewajiban, kebutuhan, dan kemajuan wanita Indonesia. Kongres ini juga memutuskan pendirian Studie Fonds untuk membantu gadis-gadis tak mampu, penguatan pendidikan kepanduan putri, pencegahan perkawinan anak-anak, dan mengirimkan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda dan Raad Agama.

Dome 7


Dome ketujuh merepresentasikan Kongres Jong Java di Dalem Joyodipuran Yogyakarta, berlangsung dari tanggal 25 hingga 31 Desember 1928. Peristiwa ini memiliki akar sejarah pada tanggal 7 Maret 1915, ketika perkumpulan Tri Koro Dharmo didirikan di Gedung STOVIA, Jakarta, oleh pelajar STOVIA seperti R. Satiman Wiryosanjoyo dan Kadarman. Beranggotakan siswa-siswa sekolah menengah dari berbagai wilayah di Jawa, perkumpulan ini berfokus pada kebudayaan Jawa dan cita-cita meningkatkan rasa cinta tanah air. Pada tahun 1918, Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java, dengan orientasi nasionalisme Jawa. Perkumpulan ini mengalami perpecahan pada akhir tahun 1924, ketika ada golongan yang ingin memasukkan dasar-dasar Islam sebagai ideologi. Namun, loyalitas kesukuan lebih kuat, dan golongan tersebut mendirikan Jong Islemieten. Pada kongresnya di Solo pada 1926, Jong Java menyatakan tekad untuk menyatukan seluruh bangsa Indonesia dan menghidupkan rasa persatuan. Selanjutnya, terbentuklah kongres Pemuda I pada 1926 yang mendorong lahirnya organisasi pemuda pelajar PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Kongres Pemuda II pada 1928 di Jakarta menandai kelahiran Sumpah Pemuda. Jong Java, pada kongres di Yogyakarta pada Desember 1928, memutuskan untuk mengadakan fusi dengan organisasi pemuda lainnya sebagai langkah konkrit merealisasikan Sumpah Pemuda. Fusi ini menjadi kenyataan dalam kongres terakhir Jong Java di Semarang pada 1929, yang menghasilkan pembentukan organisasi kepemudaan Indonesia Muda, dan secara resmi Jong Java dibubarkan.

Dome 8


Dome kedelapan mencerminkan adegan penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Kasultanan Yogyakarta pada 18 Maret 1940. Awal hayat Sultan dimulai sebagai Gusti Raden Mas (GRM) Dorojatun, lahir pada 12 April 1912 di Yogyakarta. Ayahnya, Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, memiliki pandangan modern dan demokratis, sehingga GRM. Dorojatun diasuh oleh keluarga Belanda dan menempuh pendidikan di Eropa. Pada September 1939, dampak Perang Dunia II membuat Sri Sultan HB VIII meminta anak-anaknya kembali ke Indonesia. GRM. Dorojatun kembali pada Oktober 1939 dan diberikan keris Joko Piturun, menandakan bahwa dia akan menjadi putra mahkota. Namun, kembalinya kekuasaan di Yogyakarta bertepatan dengan kematian Sultan HB VIII. Terjadi kekosongan kekuasaan, dan Gubernur Dr. Lucian Adams mengambil alih sementara. GRM. Dorojatun akhirnya diakui sebagai pengganti Sultan HB VIII setelah musyawarah keluarga kraton. Perundingan kontrak politik antara GRM. Dorojatun dan Gubernur Dr. Lucien Adam berlangsung selama empat bulan, mencakup berbagai masalah termasuk peran pepatih dalem, dewan penasehat, dan prajurit kraton. Setelah perundingan melelahkan, GRM. Dorojatun merasa mendapat petunjuk dari ayahnya untuk menandatangani kontrak politik, dan pada 18 Maret 1940, dia resmi dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta. Pidatonya mencerminkan komitmen untuk menjaga harmoni antara tradisi Jawa dan modernitas Barat, mengakui peran penting adat dalam Kraton.

Dome 9


Pada 6 Maret 1942, pasukan Jepang memasuki Yogyakarta dari Jalan Solo, menuju Gedung Agung di Perempatan Tugu, menggunakan berbagai kendaraan dan melakukan aksi propaganda dengan menyuarakan "Nippon Indonesia Sama-sama", memainkan lagu Indonesia Raya, serta merusak gambar Ratu Belanda. Sebelumnya, Jepang telah menyerang beberapa daerah strategis di Indonesia, dan setelah pendudukan singkat, Belanda menyerah pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat. Jepang berkuasa di Indonesia sejak saat itu. Meskipun kedatangan Jepang di Yogyakarta mengubah sejarah, Sultan Hamengku Buwono IX bertindak tegas dengan meminta pembicaraan terlebih dahulu dengan Sultan dalam masalah yang berkaitan dengan Kasultanan Yogyakarta. Sikap tegasnya mengukuhkan posisinya sebagai Sultan Yogyakarta di bawah status Kochi selama masa pendudukan Jepang. Demikian juga dengan kasunanan Surakarta.

Dome 10


Dome kesepuluh mencerminkan adegan pelaksanaan latihan kemiliteran bagi anak-anak sekolah dan pemuda pada masa pendudukan Jepang di Lapangan Bumijo, Jl. Tentara Pelajar (Depan Gedung SMU 17 I) dari tahun 1942-1945. Setelah Jepang resmi berkuasa di Indonesia sejak 8 Maret 1942, Undang-undang Nomor 1 dikeluarkan, menetapkan bahwa Tentara Jepang akan memimpin pemerintahan militer. Wilayah bekas Hindia Belanda dibagi menjadi tiga daerah pemerintahan dengan sistem militer yang diterapkan di berbagai bidang, termasuk di sekolah. Anak-anak sekolah diharuskan berpartisipasi dalam senam "Taiso" sebelum pelajaran dimulai, mengenakan pakaian ala serdadu Jepang, dan ikut dalam latihan baris berbaris atau perang-perangan. Sistem pendidikan tersebut menanamkan Semangat Kebaktian (Hokoseisyin) dengan fokus pada pengorbanan diri, memperkuat persaudaraan, dan membuktikan komitmen melalui tindakan. Jepang juga mengadakan latihan bagi para pemuda di Seinen Kuurensyo (pusat latihan pemuda), yang bertujuan menghidupkan semangat satria dan melibatkan sejumlah 250 pemuda. Organisasi pemuda Seinendan dan Keibodan didirikan pada 29 April 1943, di bawah Gunseikan, yang memberikan latihan kemiliteran dengan senjata tiruan. Seinendan untuk pemuda berusia 15-25 tahun, sementara Keibodan beranggotakan pemuda berumur 20-35 tahun, bertugas sebagai pembantu polisi. Keibodan masuk dalam organisasi kepolisian, dan pemuda Indonesia juga diberi kesempatan menjadi pembantu prajurit yang dikenal sebagai Heiho. Selain itu, untuk melatih perwira Indonesia, dibentuklah PETA (Pembela Tanah Air) yang kelak menjadi cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia). Jepang, yang mulai terdesak dan mengalami kekalahan di beberapa medan pertempuran, mengubah strategi pertahanannya dan melibatkan rakyat dalam dukungan perang. Muncul Badan Pelopor atau Suisyintai pada 1 November 1944, dan barisan berani mati atau Jibakutai pada Desember 1944. Di kalangan pelajar, terbentuklah korp pelajar Gakukotai yang mendapat latihan rutin. Melalui pengalaman ini, rakyat Indonesia terlibat aktif dalam bidang kemiliteran, memberikan kontribusi yang berguna bagi kebangkitan keprajuritan nasional dan pengembangan pertahanan.

Dome 11


Dome kesebelas menggambarkan adegan penggalian Selokan Mataram pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dengan sikap tegasnya, memimpin rakyat Yogyakarta secara langsung di tengah penderitaan akibat kebijakan Jepang. Petani harus menyerahkan hasil bumi kepada Jepang, dan orang kaya diwajibkan menyerahkan perhiasan berharga. Keadaan semakin rumit ketika Jepang membutuhkan tenaga kerja romusha, terutama dari petani desa, untuk berbagai proyek pertahanan seperti benteng, jalan kereta api, dan lapangan terbang. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki sikap bijaksana dalam menghadapi politik pendudukan Jepang. Beliau menyadari bahwa kebijakan Jepang akan menguras hasil bumi dan tenaga kerja rakyat Yogyakarta untuk mendukung mesin perangnya. Sultan menyusun strategi dengan menyampaikan kepada Jepang bahwa kondisi alam Yogyakarta tidak mendukung kebijakan tersebut. Data statistik disajikan lebih rendah dari kenyataan untuk meyakinkan Jepang bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang kurang produktif. Sultan juga berhasil mengusulkan pembangunan sistem irigasi dan penanggulangan banjir yang direspons positif oleh Jepang. Proyek ini, dikenal sebagai Bendungan Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro oleh Jepang dan Selokan Mataram oleh rakyat Yogyakarta, mencakup pembangunan irigasi, pintu air, bendungan, jembatan, dan tanggul di daerah Adikarto. Selain menghasilkan lahan pertanian yang lebih luas, proyek ini memberikan manfaat tambahan. Sultan Hamengku Buwono IX dapat menolak atau mengurangi jumlah tenaga kerja romusha yang diminta oleh Jepang dengan alasan proyek irigasi memerlukan banyak tenaga kerja. Dengan ini, Sultan membantu ribuan rakyat Yogyakarta dari penderitaan menjadi romusha pada masa pendudukan Jepang.